Apa hukumnya janji menikahi tapi tidak ditepati?

Perlu Anda ketahui, pada dasarnya hubungan berpacaran tidak menimbulkan akibat hukum apa-apa. Pacaran bukan merupakan hubungan hukum seperti halnya suami dengan istri. Oleh karena itu, tidak ada hak dan kewajiban yang timbul di antara kedua orang yang berpacaran sehingga jika satu pihak dirugikan, maka ia tidak bisa menuntut kewajiban pihak lainnya untuk bertanggung jawab. 

Akan tetapi, dalam putusan suatu perkara, hakim Mahkamah Agung (“MA”) secara tegas menyatakan tidak menepati perjanjian untuk melangsungkan pernikahan adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH), namun ada syaratnya. Jika pria berjanji mengawini ketika telah terjadi hubungan seksual karena janji tersebut kemudian terjadi hubungan seksual atau telah melakukan perbuatan yang dapat dianggap serius dalam tata hubungan kemasyarakatan, seperti telah terjadi pertunangan atau mengumumkan akan terjadinya perkawinan, maka hal itu bisa menjadi dasar untuk menuntut kerugian. 

Bahwa dalam Pasal 58 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata’) merumuskan tiga hal:

1.    Pertama, janji menikahi tidak menimbulkan hak untuk menuntut dimuka hakim untuk dilangsungkannya perkawinan. Juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu. Semua persetujuan ganti rugi dalam hal ini adalah batal.

2.    Kedua, namun jika pemberitahuan nikah telah diikuti suatu pengumuman, maka hal ini dapat menjadi dasar untuk menuntut kerugian. 

3.    Ketiga, masa daluwarsa untuk menuntut ganti rugi tersebut adalah 18 bulan terhitung sejak pengumuman rencana perkawinan. 

Masih bersumber dari artikel yang sama, setidaknya ada beberapa putusan MA yang mendukung atau dapat menjadi dasar apabila hendak mengajukan gugatan karena janji mengawini seperti di atas tadi. Di antaranya adalah Putusan Mahkamah Agung RI No. 522 K/Sip/1994, Putusan Mahkamah Agung RI No 3191 K/Pdt/1984 tertanggal 8 Februari 1986, dan Putusan Mahkamah Agung RI No 3277 K/Pdt/2000 tertanggal 18 Juli 2003.

Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 522 K/Sip/1994, MA menghukum si pria (sebut saja D) yang kebablasan bertindak setelah berjanji menikahi, dan bertunangan dengan seorang perempuan (sebut saja R). Gara-gara janji menikahi ‘nyaris’ terealisir, D dan R melakukan hubungan suami istri sampai sang perempuan hamil. Kehamilan itu ternyata tidak diharapkan D, dan memaksa calon pasangannya menggugurkan kandungan. Upaya paksa dibarengi dengan pukulan dan tendangan. MA akhirnya menghukum si pria dengan pidana menyerang kehormatan susila, pencurian dengan kekerasan, dan penganiayaan mengakibatkan luka berat.

Dalam putusan atas perkara lain, MA secara tegas menyatakan tidak menepati perjanjian untuk melangsungkan pernikahan adalah Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”). Karena itu pula, tergugat dihukum membayar ganti rugi kepada penggugat untuk pemulihan nama baik penggugat.

Soal langkah hukum yang dapat Anda lakukan, Anda dapat mengumpulkan bukti-bukti yang ada kemudian menggugat pria tersebut atas dasar PMH. Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya “KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan”, menjabarkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagai berikut:

a.    Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);

b.    Perbuatan itu harus melawan hukum;

c.    Ada kerugian;

d.    Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;

e.    Ada kesalahan.

Anda bisa menggugat kekasih Anda karena telah melakukan PMH dan meminta sejumlah ganti rugi kepada kekasih Anda (atau keluarganya) karena tidak menepati janji menikahi Anda. 

Mahkamah Agung pernah menghukum seorang pria yang menjadi tergugat melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena tak menepati janji untuk menikahi, dalam sebuah kasus yang terjadi di Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan keterangan atasan tergugat, tergugat sudah memperkenalkan penggugat sebagai calon istrinya kepada orang lain. Beberapa dokumen penting, seperti tabungan, juga sudah diserahkan tergugat kepada penggugat sebagai bukti keseriusannya mau menikahi. Mereka malah hidup bersama. Tetapi ketika si perempuan menagih janji untuk dinikahi, si laki-laki ingkar. MA menyatakan perbuatan di pria “melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat”. Karena itu pula, perbuatan si pria dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.

Kenapa Harus Memilih Kantor Advokat Perempuan?

Perceraian bukan hanya soal memutuskan hubungan pernikahan, tetapi juga melibatkan banyak aspek hukum, emosional, dan sosial. Dengan pengalaman luas dalam menangani kasus-kasus perceraian, kantor advokat perempuan menawarkan:

  • Pendekatan profesional dan empatik. Kami memahami bahwa perceraian adalah masa sulit dan memerlukan pendampingan dengan hati-hati.
  • Pendampingan hukum yang menyeluruh. Mulai dari mediasi, gugatan, hingga penyelesaian masalah hak asuh anak dan pembagian harta.
  • Strategi hukum yang tepat. Kami membantu Anda menemukan solusi terbaik sesuai kebutuhan dan kepentingan Anda.

Hubungi Kami Sekarang

Jika Anda sedang menghadapi persoalan rumah tangga dan membutuhkan bantuan hukum, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan kami. Dengan pengalaman bertahun-tahun menangani kasus perceraian, kami siap membantu Anda mendapatkan keadilan dan solusi terbaik.

📞 Kontak Kami: 0819-0812-0680
🌐 Website: https://advokatperempuan.com/

Kantor Advokat Perempuan
Mitra Terpercaya Anda dalam Masalah Hukum Keluarga.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Konten dilindungi !!
Scroll to Top