Dalam praktiknya hak waris Anak yang bukan Anak kandung acap kali menjadi permasalahan dalam sistem hukum waris di Indonesia hingga hal tersebut membuat Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran No. 02 Tahun 2009 tentang Kewajiban Melengkapi Permohonan Pengangkatan Anak dengan Akta kelahiran. Hal serupa juga diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Pengangkatan Anak, sebagaimana diubah UU No. 35 Tahun 2014 menganut prinsip the best interest of the child, untuk kepentingan terbaik si anak. Berkaitan dengan hak waris, Pasal 39 UU Perlindungan Anak penting untuk diketahui, dimana Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
Pada prinsipnya KUHPerdata tidak mengatur secara khusus hak waris anak angkat, tetapi ia berhak mendapatkan bagian melalui hibah wasiat. KUHPerdata hanya mengatur pengakuan terhadap anak luar kawin. Belanda pernah mengaturnya dalam Staatsblad No. 129 Tahun 1917 yang berlaku untuk golongan Tionghoa. Berdasarkan Pasal 875 KUH Perdata, seseorang berhak membuat wasiat atau testamen berisi pernyataan tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia, termasuk kehendaknya mengenai harta. Dengan pijakan ini, orang tua angkat bisa membuat wasiat yang memberikan bagian kepada anak angkat, tetapi pernyataan itu harus memperhatikan legitime portie ahli waris (legitime portie adalah semua bagian dari harta warisan yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut Undang-undang, terhadap bagian mana orang yang meninggal dunia tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pembagian yang masih hidup maupun selaku wasiat). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam pemberian atau pelimpahan harta kepada Anak angkat dapat dilakukan dengan cara membuat wasiat yang menyatakan pemberian sebagian harta orang tua angkat kepada Anak angkat tersebut namun harus memperhatikan bagian mutlak terhadap Anak kandung.
Pewarisan berdasarkan surat wasiat berarti siapapun dapat ditunjuk sebagai penerima warisan dan bagiannya tidak ditentukan oleh undang-undang. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 874 KUHPerdata yang berbunyi:
“Segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang, sekadar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah”.
Wasiat dari segi isinya dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Wasiat yang berupa pengangkatan seseorang menjadi waris (erfstelling)
Dalam wasiat ini belum ditentukan benda mana dari harta waris yang akan diberikan kepada penerima wasiat, hanya disebutkan berapa bagian yang akan diberikan.
2. Wasiat yang berupa pemberian benda tertentu (legaat)
Dalam wasiat yang berupa legaat, sudah ditentukan benda mana yang akan diberikan. Misalnya sebidang tanah tertentu, rumah tertentu, mobil tertentu, dan seterusnya.
Selanjutnya, dari segi bentuknya wasiat dibedakan menjadi 3 yaitu:
- Wasiat Olografis (Olographis Testament), yaitu wasiat yang seluruhnya ditulis dengan tangan dan ditandatangani sendiri oleh pewaris (pembuat wasiat). Wasiat ini kemudian diserahkan ke notaris untuk disimpan.
- Wasiat Umum (Openbaar Testament), yaitu wasiat yang dibuat oleh pewaris dan dicatat oleh notaris. Pemberi wasiat menghadap ke notaris dan menyatakan kehendaknya.
- Wasiat Rahasia (Geheime Testament), yaitu wasiat yang dibuat dan diserahkan ke notaris dalam keadaan disegel atau tertutup.
Disamping itu juga terdapat aturan tentang perlindungan Anak dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 9 disebutkan bahwa “Anak Angkat adalah Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan Anak tersebut ke dalam lingkungan Keluarga Orang Tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”,
dilanjutkan dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) yaitu:
“(1) Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
(2) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak:
a. bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya;
b. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan
d. memperoleh Hak Anak lainnya.”
Anda memerlukan pengacara hukum keluarga yang berpengalaman untuk membantu menavigasi kompleksitas ini dan melindungi kepentingan keuangan Anda.
Jangan Ragu untuk Berkonsultasi!
Jika Anda memiliki pertanyaan atau membutuhkan bantuan hukum, kami siap membantu. Hubungi kami sekarang untuk menjadwalkan konsultasi.
🕒 Jam Operasional:
Senin–Jumat: 09.00–17.00 WIB
Sabtu, Minggu & Hari Libur: Tutup
WhatsApp
📱 WhatsApp: 0819-0812-0680
Email
📧 Email: halo
Gunakan email ini untuk mengirimkan pertanyaan, dokumen hukum, atau kebutuhan lainnya.